Senin, 20 April 2015

You Are Mine (Say Yes)

@kiyoo

            “Cinta itu seperti coklat, rasa manis dan pahitnya selalu ada di setiap gigitan. “

            Aku berjalan menyusuri koridor sekolahku, di sini sudah terlalu sepi, semua siswa sudah pulang. Sedangkan aku selalu pulang paling akhir, itu sudah kebiasaanku menjadi penunggu sekolah. Aku melangkah dengan terburu-buru, meski pulang selalu akhir tetapi aku juga selalu takut. Aku hanya takut jika seseorang mengikuti. Istilahnya Stalker. Itu mengerikan. Ah sudahlah, ibu pasti mencariku. Aku berlari dengan cepat dan kucari sepedaku. Di mana kutaruh yah? Aku benar benar lupa. Dasar pelupa. Seharusnya, kan… Etto aku kan… Aku baru mengingatnya ternyata aku tidak punya sepeda. Kupukul kepalaku dan berkata
“Baka,,, baka,,, baka. Kenapa aku selalu lupa? Sudahlah aku tidak menghakimi diri sendiri.”
        Terpaksa aku berjalan kaki pulang, bukan terpaksa karena setiap hari aku memang berjalan kaki, kadang naik sepeda kalo ada yang mau ngebonceng, mumpung biar gak pegal sih… Udara di sini selalu segar apalagi pas sore, sejuk banget. Aku menyukainya, menyukai semua suasana yang damai ini. Tapi keadaan lingkungan tak seindah kehidupanku yang hanya berupa coretan tinta hitam dia tas putih. Semua berjalan membosankan. Di rumah, di sekolah semua membosankan.

Brukk…

         “Kyahhh… Maaf, Tuan. Aku tidak sengaja menabrak anda!” Aku bangkit dan membungkukkan tubuhku kepadanya. Aku ceroboh banget sih, seharusnya aku tidak seceroboh ini. Aku yakin pria itu marah, ada aura negative disini. Aku takut. Maksudku, aku selalu menjauh dari masalah.Tapi hanya masalah saja yang terlalu ngefans ke aku. Itu membingungkan. Ketusku dalam hati.
“Apa kau tidak bisa melihat? Kau bahkan sudah punya empat mata, dan kau masih tidak mampu melihat? Oh itu menjengkelkan, Nona. Kau membuat pakaianku kusut!” Lelaki itu terus saja mengeluarkan serentetan kata-kata yang tidak kupahami sambil merapikan pakaiannya. Mungkin dia keturunan alien… Huuu…. Etto,,, tadi dia menghinaku, sial… Aku sudah minta maaf, seharusnya dia memaafkanku. Dia siapa berani memarahiku? Dasar cowok brengsek!
Aku menatap pria itu dengan tatapan sinis. Aku sedang membayangkan bahwa kami sedang di medan perang dan saling menembak satu sama lain.
“Nona, jangan bilang kau juga tuli!”  Dia menjitak dahiku, dan aku baru tersadar dari lamunanku.
“Tidak, Tuan.” Aku berjalan pergi dan berteriak dari kejauhan.
            Etto…Tapi wajahnya cukup, cukup, cukup, ganteng. Tidak, bukan cukup, ganteng banget. Kurasakan jantungku berdetak kencang mungkin terasa seperti akan melompat keluar, sepertinya pembuluh darahku juga akan pecah. Ah tidak, dia hanya ilusi yang dibuat Tuhan, untuk membuatku merasa terjun dari ketinggian 56 kilometer. sepertinya ketinggian, rendahin lagi 10 meter. Aku tertawa sendiri, dan semua orang di sekitarku menatapku, aku tidak peduli. Aku hanya melanjutkan perjalanan pulangku.

***

“Aku pulang.”
“Selamat datang, cepat ganti bajumu setelah itu makanlah… Ada kejutan untukmu.” Ibuku tersenyum kepadaku dan itu membuatku semakin bingung.
Sudahlah aku tidak perlu memikirkan itu, sekarang aku benar benar lapar.  Aku mengganti pakaianku dan kemudian menatap diriku di cermin.
“Kau benar benar menjijikkan.” Aku berbicara kepada cermin, kuharap bayangan diriku di dalam cermin itu menjawabnya. Aku menunggu beberapa menit namun tidak ada respon. Sudahlah.
Aku memutar bola mataku dan kulihat tempat tidur empuk milikku itu merindukanku, aku mengambil ancang-ancang dan melompat ke atas tempat tidur.

Wussh

“Bukankah kau merindukanku, saying?” Aku mencium bonekaku dan kemudian berguling-guling di atas tempat tidurku sampai aku jatuh tertidur.
Mataku gelap, kucoba membukanya secara perlahan, kukedipkan beberapa kali dan satu arah yang terlihat, aku berada di… Aku bingung dan mencoba mencari kata yang tepat. Aku berada di rumah kakekku.
Lelaki tua, yang kupanggil kakek itu menyapaku dan bahkan memelukku.
“Kau sudah besar?” Aku tersenyum dan memeluknya balik,
“Yaiyalah sudah besar, masa kecil terus sih kek.” Kataku bercanda
“Iya, kakek tau, Nina.”
Nina? Nina itu siapa? Akukan Yuki. Hadehhh dia lupa namaku lagi. Dasar kakek pikun
“Kek, Aku Yuki.” Kataku, sambil melepas pelukannya.
“Yuki? Sepertinya aku tidak memiliki cucu yang bernama yuki.” Kata lelaki itu.
            Ah sudahlah butuh berjam-jam untuk mengingatkkannya siapa aku. Disitu kadang saya merasa bingung. Aku sebenarnya cucunya apa bukan sih?
Dan suara hiruk piruk mulai memenuhi ruangan, sial aku dikelilingi monster kecil itu lagi.  Monster kecil itu adalah empat keponakanku. Mereka sangat menjengkelkan namun juga menggemaskan. Mereka selalu menarik rambutku dan menaiki punggungku, tapi aku tetap menyayangi mereka. Ah sudahlah.
Tiba-tiba ruangan di sekitarku bergoncang, aku berteriak histeris ..” Kyahhhh ada gempa, ada gempa.” Sambil berlari memutari ruangan.
Serentak, aku merasakan sakit. Sial sakit sekali. Aku mencoba membuka mataku dan mengedipkannya, etto aku dirumah ternyata. Aku merenggangkan tubuhku dan menyadari bahwa semua itu mimpi. Mimpi sialan. Untung aku gak keropos yah. Aku tertawa sendiri menyadari kebodohanku.
Aku berdiri dan berjalan membuka pintu, namun yang terjadi malah tepat dihadapanku berdiri seorang pria. Mungkin Cuma imajinasiku saja. Aku mencoba mengusap kedua mataku, dan ternyata itu…
“Yuki?” Imajinasiku berbicara, atau itu benar-benar nyata.
“Kau nyata? tanyaku bingung, aku masih merasa pusing, belum bisa membedakan dunia nyata dan dunia mimpi.
“Hei, ini aku Hachi.” Lelaki itu menjitak jidatku, dan kemudian mencubit pipiku.

To be continue
(P.S. Jangan terlalu berharap )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar