Kamis, 20 Agustus 2015

“You and My Chrismast Time”

@Kiyoo
 
            Desember yang indah, dihiasi salju yang turun mengiringi datangnya hari natal. Butiran salju yang jatuh tampak begitu putih dengan kilauan kristalnya yang terpancar. Kata orang, salju dan natal membawa kebahagiaan, tetapi bagiku tidak. Tidak semua orang bisa merasakan hal itu. Terkadang ada kesedihan yang selalu menutupi rasa bahagia itu. Aku pun pernah membenci hari natal. Tetapi seiring berjalannya waktu, aku mulai menyukai salju dan natal.

Los Angeles, 10 Desember 2012

            Aku kembali ke taman untuk menemui seseorang yang berarti bagiku, dia, Christiant Snowly, gadis misterius yang kutemui beberapa bulan yang lalu. Aku menyebutnya gadis misterius, karena aku tidak tahu banyak hal tentang dia, siapa temannya, siapa orang tuanya, ataupun di mana rumahnya. Lagi pula, informasi  tentangnya bukanlah hal penting bagiku saat ini. Masa lalunya itu tidak penting, bukan? Yang penting itu adalah bagaimana perasaan dia kepadaku. Apa dia menyukaiku? Atau hanya menganggapku sebagai teman? Entahlah, apapun itu, aku harap kami dapat selalu bersama.
“Snowly…” Panggilku pelan.
Dia berbalik dan tersenyum menyapaku. Senyuman itu tampak berbeda, lebih tepatnya seperti senyum paksaan, apa yang terjadi?
“Luxy…” Dia menatapku seperti sedang menahan tangis.
“Kenapa? Apa kau punya masalah?” Tanyaku seraya memegang pundaknya. Mungkin dia butuh seseorang untuk mendengarkannya.
Namun, tiba-tiba saja dia memelukku, dan menangis di dekapanku “Aku takut, aku benar benar takut.” Sekujur tubuhnya gemetar. Kenapa? Apa yang terjadi?
Ini pertama kali aku melihatnya begitu rapuh. Aku mengira dia tidak akan serapuh ini, maksudku dia selalu tersenyum bahagia seperti orang yang tidak pernah memiliki masalah. Namun, aku salah, orang yang tampak bahagia tidak selamanya benar-benar bahagia, seperti gadis yang saat ini berada di dekapanku.
Snowly perlahan-lahan melepas pelukannya dan mulai menghapus air matanya. Sekarang aku dapat melihat dengan jelas kekosongan yang terpancar dari matanya. Dia benar-benar tampak kacau .
Beberapa saat aku terdiam, tetapi kemudian aku memberanikan diri untuk menanyakannya “Ada apa?”  Tanyaku singkat.
“Tidak ada apa-apa, hanya saja aku ingin melihatmu.” Wajahnya tertunduk tidak menatapku. Yang aku tahu, dia berbohong sekarang. Tetapi, kenapa dia harus berbohong? Ini benar-benar membingungkan, seharusnya dia jujur saja kepadaku .
“Maaf, aku harus pulang!” Hah? Kenapa tiba tiba? Maksudku kami baru bertemu beberapa menit yang lalu, dan masih banyak hal yang aku ingin tanyakan kepadanya.
“Secepat itu?” Suaraku serak begitu saja, aku benar-benar tidak mengerti apa yang ada di pikirannya. Aku menatapnya mencoba mencari jawaban, namun yang kutemukan hanyalah setetes air mata, sisa tangisannya tadi. Aku masih belum bisa mengerti akan semua hal yang terjadi hari ini, “Kita akan bertemu lagi, kan?” Tanyaku, kuharap jawabannya iya, aku ingin melihatnya besok, besok, dan besoknya lagi.
“Entah. Mungkin iya, mungkin tidak.”
Apa maksudnya? Apa dia berencana untuk meninggalkanku? Tapi kenapa? Apa aku membuat kesalahan?.
“Jadi maksudmu kau akan pergi? Jika itu maumu, aku tidak bisa menahanmu. Lagi pula aku bukan siapa-siapamu. Kau bahkan bisa pergi tanpa perlu mengatakan selamat tinggal.”
            Aku memalingkan wajahku, aku tidak mampu menatapnya. Kenapa kau terdiam? Apa kata kataku menyakitimu? Kalau kau masih ingin di sini, kumohon jangan ucapkan selamat tinggal. Ketusku
Tetapi, Tuhan berkata lain, dia benar benar pergi, Snowly benar-benar pergi meninggalkanku. Sekarang apa aku harus percaya pada keajaiban natal? Semua cerita indah di hari natal dan permohonan yang dapat terwujud hanyalah omong kosong, dan dongeng untuk anak-anak. Ku rasa aku ingin mengutuk Desember ini. 

Los Angeles, 17 Desember 2012

            Ini sudah lebih dari satu minggu dan gadis itu tidak pernah muncul lagi di hadapanku. Aku mengira tanpanya hidupku akan berjalan seperti biasanya, namun tidak, hidupku kacau, yang hanya di pikiranku hanya dia, dia, dan dia. Seandainya aku bisa meminta, aku ingin melihatnya untuk terakhir kali.
            Aku meletakkan setangkai bunga di kursi taman tempat kenangan kami terbentuk, bunga mawar yang warnanya memudar akibat dinginnya salju. Mungkin ini akhirnya, ketusku. Aku kembali ke rumah dan yang kudapatkan hanyalah seorang wanita paruh baya yang duduk di tangga rumahku.
Dia bergerak menghampiriku “Luxiver?” Itu membingungkan. Bagaimana dia bisa mengetahui namaku?
“Ya, ada yang bisa kubantu?” Kataku pelan sembari meniupkan udara hangat ke kedua tanganku untuk menghalau dinginnya udara musim ini.
“Aku Christiant Rachel, Ibu Snowly!” Aku menatapnya sebentar, mencoba mencari kecocokan. Yah, dia benar benar ibu Snow. Mereka memiliki warna mata yang indah, sangat indah. Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa dia menghampiriku? Apa Snow memintanya? Kuharap iya.
            Dia kemudian bercerita tentang masa lalu Snow, sampai kesenangan Snow, dan yang bisa kudapat dari akhir cerita ini hanyalah, penyakit leukemia yang akan merenggut hidup Snowly, wanitaku. Apa mungkin itu  alasan dia meninggalkanku. Tapi kenapa? Seharusnya dia tidak menyembunyikannya. Aku benar benar ingin menemuinya sekarang. Aku harap aku masih sempat.

Los Angeles 18 Desember 2012

            Aku menatapnya terbaring dengan alat bantu pernafasan, dia tampak tersiksa, ku kira dia tidak akan terbangun lagi, tetapi dia membuka matanya dan melihat ke arahku, tampak jelas setetes air mata mulai jatuh membasahi pipinya. Aku memasuki ruangan ICU dan mulai duduk di sampingnya. Menceritakan semua kenangan yang telah kami bentuk.
“Kau ingat saat aku menemuimu? Itu adalah hari di mana kehidupanku mulai berubah.” Aku tertawa pelan dan mulai kembali bercerita, “Saat itu, penampilanmu sangat kacau, tetapi senyumanmu itu sangat indah. Senyumanmu benar-benar indah.” Aku tertawa seolah olah itu lucu dan dia hanya bisa menangis di hadapanku. Itu membuatku tertekan, kumohon bicaralah sesuatu. “Sejak hari itu, aku mulai menyukaimu, kukira kita bisa selalu bersama, tetapi itu cuma cerita dongeng, di mana happy ending tidak selamanya benar-benar terjadi. Mungkin happy ending itu hanyalah sebuah omong kosong.” Aku mulia meneteskan air mata dan benar benar tidak bisa menahan tangisanku, dan ini benar benar menyakitkan. Ada rasa kosong di sini.
Aku perlahan-lahan mulai menghapus air mataku dan mengecup keningnya. “Aku akan pulang sekarang, aku berjanji akan kembali besok dan besoknya lagi.”

Los Angeles, 24 Desember 2012

            Aku berjalan untuk menjenguknya lagi, tetapi yang kulihat hanyalah ibunya yang sedang menangis. Dia berkata sebentar lagi adalah operasi terkahir Snowly, jika ini berhasil, kemungkinan Snowly dapat bertahan. Benarkah? Harus kah aku mempercayai keajaiban sekarang?
            Aku mulai berlari  keluar dan mencari gereja, yang kulakukan adalah berlari ke geraja yang satu dan ke geraja yang lainnya, hanya untuk berdoa, doa yang sama selalu kuucapkan. Kumohon-kumohon, biarkan dia hidup, ambil saja nyawaku. Kenapa harus dia? Kenapa bukan aku?
            Air mataku mengalir begitu saja seiring dengan doa yang kuucapkan berulang kali. Apakah boleh aku meminta keajaiban natal? Meminta kado spesial tentang kehidupannya. Kumohon, kalau bisa, aku ingin merayakan natal dengannya. Ya hanya itu permintaanku. Aku menatap arlojiku dan sekarang waktunya Snow operasi, Aku harus ada di sana secepatnya. Aku berjalan keluar dari gereja, dan…
            Oh Tuhan… Apa ini nyata? Aku tidak sedang bermimpi, bukan? Aku tidak percaya tentang apa yang kulihat, Snowly berdiri tepat di hadapanku dan tersenyum. Kali ini dia tersenyum lembut kepadaku dan menyapaku.
Aku berlari menghampirinya dan memeluknya dengan erat. Dia tampak sehat, terima kasih, Tuhan. Ini benar benar kado terindah, tetapi yang aku tidak tau adalah kenapa dia ada di sini?  Namun sekarang itu tidak penting, dan yang hanya ingin kulakukan adalah menikmati natal bersama.
Kami berdua berjalan seolah-olah tidak terjadi apapun, tertawa bahagia seolah-olah besok adalah akhir dunia. Dan kami berjalan menuju taman, tempat terakhir yang akan kami kunjungi untuk menanti pergantian tanggal, tempat kenangan kami pertama kali terbentuk. Dia tampak benar benar bahagia, dan aku bersyukur akan hal itu. Tetapi kemudian, tubuh kecilnya itu perlahan-lahan mulai tumbang, aku berlari secepat mungkin untuk menangkapnya, dan sekarang terlihat jelas, sedari tadi dia menahan sakit. Kenapa kau lakukan itu? Jangan bercanda! Apa kau melakukannya hanya untuk mengakhiri ini? Suaraku tertahan, tidak mampu keluar, seolah olah hilang bersama hembusan angin natal.
“Sebentar lagi natal, aku ingin natal bersamamu. Aku me…nyukaimu, sangat menyukaimu mele…bihi apapun. Kukira aku bi..sa bersamamu selamanya, tetapi…” Dia menghela nafasnya berulang kali seolah olah dia kesulitan bernafas. Snowly mencoba mengatakan sesuatu yang sulit ku terima, “Ma..af, aku… ti…t…idak bisa ber…tah…an lebih lama lagi.”
Sekarang aku benar-benar menangis, “Jangan mengatakan seperti itu.” Kupeluk dirinya dengan erat, dan kugenggam tangannya, berharap itu dapat membuatnya nyaman, setidaknya biarkan aku mengenggamnya untuk terakhir kali.
Ini sangat menyakitkan melihat seseorang yang kau cintai ternyata akan segera meninggalkanmu selamanya. Yang kulihat hanyalah senyum yang tidak pernah hilang sejak detik tadi. Sebuah senyuman yang kulihat ketika pertama kali kami bertemu dan sebuah senyuman terakhir yang tidak akan pernah kulihat lagi.
“Aku ada di sini, aku akan menemanimu sampai kau benar benar pergi.” Senyum yang kupaksakan untuk membuatnya tenang, agar dia merasa aku akan baik-baik saja tanpanya.
Aku menatap menara jam besar di kota Los Angeles dan beberapa saat lagi natal akan segera tiba, beberapa detik lagi… Aku mulai menghitung mundur, menghitung detik-detik kepergiannya..

3… 2… 1…

Tangan kecilnya bergerak menghapus tetesan air mataku, aku masih bisa merasakan kehangatan dari sentuhannya, namun setelah itu, perlahan-lahan tangan kecilnya mulai jatuh lunglai ke tanah.
Dia mulai menghembuskan nafas terakhirnya bersamaan dengan tetesan air mata yang mulai jatuh. Dan dia mengucapkan satu kalimat yang tidak akan pernah kulupakan di natal ini. “Aku men…cintaimu.”
Setelah kata-kata itu, dia benar-benar pergi selamanya. Aku mengecup keningnya sekali lagi dengan tetesan air mataku tepat jatuh di wajahnya yang sekarang terasa seperti sedingin es. Aku mencintaimu juga, sangat mencintaimu.

“Selamat tinggal, Kau adalah segalanya.”

 Los Angeles, 25 Desember 2015….
#END#
(P.S. Cerita gw gak menang lomba, ucapin selamat vroo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar