@Shin Kiyo
“When my heart beating
so fast and cant stop race, maybe that’s I feel love. But it so hard to
confused my feeling, because when im with you my brain stop thinking and my
mouth cant speak .I hope you know my true feeling from how I act when
im with you.“~SK
“Terima
kasih karena selalu buatku.” Kataku sambil menggenggam tangannya.
“Ya,
itu tidak masalah.” Ren menarik tanganku
dan memasukkannya ke dalam jaketnya. Dia selalu seperti ini, dia selalu
mencoba melindungiku dari apapun termasuk udara kota yang sangat dingin di pagi hari.
Aku
hanya bisa tersenyum atas tindakannya itu, dia sudah seperti kakakku sendiri.
Peduli dan penuh kasih sayang. Kami berdua berjalan menuju festival akhir
tahun, aku berlarian seperti anak kecil di taman kota, ke sana-ke sini
mengelilingi taman. Kukira dia akan marah tapi dia malah tertawa. Dia bahkan
mengikutiku bermain. Karena terlalu menikmati suasana, aku terpisah dengannya. Aku
terus mencoba mencari lelaki itu, tetapi tetap saja tidak ketemu.
Aku
lelah mencari, memilih duduk dan menunggu berharap dia menemukanku.
Seorang lelaki bertubuh besar datang mengarah kepadaku.
Seorang lelaki bertubuh besar datang mengarah kepadaku.
“Hey
nona, di mana pacarmu?” Wajah mesumnya itu membuatku muak. Aku hanya
mengacuhkannya. Memilih memandang ke arah lain.
Tiba-tiba
lelaki itu meraih pinggangku. Aku mencoba melepaskan diri. Tangan kananku bergerak
menghantam wajahnya. Dia berteriak kesakitan dan itu membuatnya marah.
“Dasar
kau wanita jalang.” Dia mencengkram lenganku dengan keras dan menyeretku untuk mengikutinya.
Aku berteriak kesakitan dan berteriak mencari pertolongan. Namun tidak ada
seorang pun yang mendengar teriakanku. Ren kumohon tolong aku. Aku menangis dan
berharap Ren menolongku.
Bruk…
Ren menghantam wajah lelaki itu dengan keras, dan hidung
lelaki itu mengeluarkan darah. Dia berlari menjauh dari kami. Aku ingin
menangis dengan keras sekarang. Aku berlari memeluk lelaki yang menolongku itu. Dia mengusap kepalaku dan mencoba menenangkanku.
“Te..terima
ka..kasih, Ren” Kataku tergagap. Aku mempererat pelukanku. Dia membalas
pelukanku dengan lembut.
“Ayo
berhentilah menangis.” Dia masih tetap mencoba menenangkanku. “Kali ini kau
harus memegang tanganku dengan erat, jangan melepaskannya lagi.” Ren mencium
ujung hidungku dengan lembut.
Kali ini aku tidak akan melepaskan
tanganmu, kataku dalam hati. Aku menggenggam erat tangannya. Kami
berdua berjalan keluar dari festival tersebut.
***
Aku
duduk termenung di kamarku, menatap langit yang sudah mulai gelap itu. Tanpa
sadar bibirku menyebut nama Ren, Kenapa?
Mungkin aku merindukannya. Sampai sekarang aku bahkan tidak tau bagaimana
perasaanku yang sebenarnya untuk Ren. Apa mungkin aku menyukainya? Tidak… Tidak mungkin bukan. Hmmpp… Mungkin
saja aku merindukannya karena dia dan aku selalu bersama dari kecil. Ren
seperti kakakku. Hentikan… Kepalaku yang kosong ini berhentilah
memikirkan Ren, Ren, dan Ren.
Aku
membaringkan tubuhku di atas kasur empuk di kamarku. Sedikit demi sedikit aku
mencoba untuk menutup mataku. Oh sial…
Aku tidak bisa menutup mataku, kalau kututup yang terbayang adalah wajah Ren. Ada apa denganku, sih? Mungkin kepalaku
perlu dibenturkan.
Aku
memiringkan tubuhku ke samping, ku lihat layar teleponku yang gelap. Kuharap Ren
menelponku.
Beep…
Beep… Beep
Kyyahhh…
Ren menelponku.
“Halo
Yui?”
“Halo
Ren, ada apa?”
“Tidak
ada apa-apa kok. Aku hanya… hanya…” Dia berhenti
Kenapa dia berhenti? Hanya apa? Apa
yang sebenarnya yang dia ingin bicarakan. Astaga ayolah, Ren kumohon jangan
buat aku menunggu. Kataku dalam hati.
“Hanya
apa Ren? Kau masih di sanakan?”
“Eh...
Iya. Aku masih di sini. Aku hanya ingin mendengar suaramu.” Katanya sedikit
gugup.
Awalnya
aku tidak percaya tentang apa yang baru-baru kudengar ini, Ren bilang dia ingin
mendengar suaraku. A…Apa… Astaga, dia
benar-benar mengatakannya, Ren ternyata orangnya so romantis, aku sedikit
tertawa mendengar dia berkata seperti itu.
Mungkin
lelaki itu mendengarku tertawa Ah biarlah.
Habisnya suaranya lucu. Aku ingin tertawa keras rasanya.
“Kenapa
kau tertawa?” nada suaranya tampak kesal.
Aku
mencoba menghentikan tawaku namun ini sulit untuk dihentikan “Eh… Iya… Tidak
ada apa-apa kok.” kataku sambil menahan tawa.
Ren
kemudian melanjutkan pembicaraannya dan aku ikut mendengarkan pembicarannya.
Kami bahkan lupa waktu. Aku hanya bergumam dalam hati, anak itu punya banyak pulsa untuk menelponku, rupanya.
***
Gara-gara
Ren aku jadi terlambat bangun, terlambat masuk kelas, dan dihukum dosen. Sial… Setelah hukuman berakhir aku
memutuskan untuk mencari Ren, aku ingin memukul kepalanya itu karena dia, aku susah tidur. Tapi… Itukan
bukan salahnya juga, iyakan? Ini salahku juga, Kenapa harus kuangkat
teleponnya?
Aku
membatalkan niatku untuk memukul kepalanya. Seperti biasa, aku akan menyapanya,
bertemu dengannya, dia akan mengajakku keliling taman sebentar, dan mengantarku
pulang, selesai. Aku melangkahkan kakiku dengan cepat tapi tiba-tiba,,,
Bruk…
Seseorang
menabrakku, aku jatuh di tanah. Kesal? Tentu
saja, aku akan mencaci maki orang itu. Kurapikan pakaianku dan bersiap
untuk melontarkan amarahku kepadanya. Tetapi aku membatalkan niatku, aku
tercengang melihat wajah lelaki itu, Oh
astaga dia manis sekali. Aku melamun
menatap mata birunya yang membuatku terpesona itu.
Dia
membangunkanku dari lamunanku.
“Kak?
Kakak tidak apa-apa?” Katanya dengan nada yang sangat lucu.
Tunggu
dulu, tadi dia memanggilku apa? Dia memanggilku kakak? Oh astaga ternyata dia
juniorku. Wajahnya sangat manis dan imut. Aku hanya mengangguk pelan.
“Syukurlah,
maaf yah kak!” Dia menundukkan kepalanya.
“Iya,
lain kali jalan hati-hati yah.” Kataku tersenyum.
“Kak,
ayo ikut.” Dia tiba-tiba menarikku ke kantin.
Awalnya
aku heran kenapa tiba-tiba dia menarikku ke kantin dan menyuruhku memesan
makanan, tetapi setelah kutanya mengapa dia bilang kalau ini sebagai tanda
maafnya. Anak ini benar-benar anak yang baik, tetapi sayangnya aku tidak
tertarik dengan pria yang lebih muda dari umurku.
Kami
berbincang-bincang sedikit mengenai masalah kampus. Hmpp… Well… Dia ramah dan sopan. Eh ngomong-ngomong Ren kemana? Aku masih bingung sampai sekarang
dia tidak mencariku. Biasanya jam segini dia sudah menelpon. Pulang duluan atau tunggu dia saja yah?
Aku memilih menunggunya, lagi pula kalau aku terlambat pulang dia rela
menungguku. Sebaiknya aku begitu.
“Kak,
ayo pulang. Aku antar.” Kata Mataro, junior yang tadi mengajakku makan.
“Kamu duluan aja, aku sedang menunggu teman.”
Aku melirik jamku “Yah well,” Aku tersenyum dan melanjutkan perkataanku
“Tampaknya dia sedikit terlambat.”
“Kalau
begitu aku temanin yah.?”
Aku
hanya mengangguk, mengiyakan permintaannya. Kami kembali berbincang-bincang. Yah well… Sudah mau malam nih, tetapi
laki-laki itu belum muncul juga. Kemana
sih dia? Aku memutuskan untuk menelponnya, tetapi handphonenya tidak aktif.
Kesal… Tentu. Siapa yang tidak kesal.
Di sini aku menunggu sangat lama. Aku berdiri dan mengajak Mataro untuk pulang.
Mataro bersedia mengantarku pulang ke rumah, padahal aku sudah menolaknya,
tetapi dia tetap saja memaksa. Yah mumpung tumpangan gratis, boleh deh.
Setelah
sampai di rumah, aku mempersilahkan dia masuk ke rumahku. Awalnya aku tidak
menginginkan bocah itu masuk ke rumahku, karena setiap ada anak laki-laki yang
pulang bersamaku, selain Ren, keluargaku selalu heboh. Entahlah apa yang nanti
mereka lakukan, semoga tidak membuatku malu.
***
Beberapa
hari berlalu, aku tidak bisa menemukan Ren di mana pun. Aku kunjungi ke
rumahnya Ibunya selalu bilang dia tidak ada, aku mencarinya di kampus juga
tidak ada, ditelpon juga tidak aktif. Kamu
kemana Ren? Pliss, jangan membuatku khawatir.
Aku
duduk di samping Mataro dan menghadap ke mahasiswa lainnya, kulihat Ren dari
kejauhan dikelilingi oleh beberapa orang wanita. Itu sangat membuatku kesal. Uh… Kenapa harus kesal? Ren hanya temanku,
cemburu? Hahaha… Tidak mungkin.
Aku
menatap ketiga wanita itu seperti tatapan pembunuh. Ren melihatku, namun dia
langsung memalingkan wajahnya dan malah meladeni ketiga gadis itu. Kenapa dia? Dia mencoba membuatku cemburu yah? Hahaha… Aku tidak cemburu kalau dia
melakukan itu, aku juga bisa. Lihat saja!
“Mataro,
ke kantin yuk!” Ajakku.
Mataro
bangkit dari duduknya, aku langsung menggandeng tangannya seperti sepasang kekasih.
Aku meliriknya, well dia menatap kami dengan tatapan pembunuh. Satu point
untukku. Hore…
Kami
berdua duduk sambil menunggu makanan, ketika aku akan menyantap makananku,
tiba-tiba seseorang menarikku menjauh dari kantin. Aku memalingkan wajahku
kepadanya dan ternyata itu Ren. Apa sih
maunya? Aku mencoba untuk melepaskan genggamannya.
“Berhenti
Ren, kau menyakiti lenganku, Bodoh.” Kataku terus mencoba.
Akhirnya
Ren melepaskan tanganku, dia menundukkan wajahnya dan meminta maaf. Aku
memafkannya.
“Ada
apa Ren?” Kataku santai, padahal aku tau kalau dia sangat marah karena cemburu
melihatku dengan Mataro, mungkin dia kemarin melihatku berjalan dengan Mataro
dan marah. Ah… Sudahlah aku sudah tau
kalau Ren menyukaiku dari awal.
“Aku
tidak suka kau memegang tangan lelaki itu.” Dia berhenti sebentar, dan
mengangkat wajahnya, menatapku dengan tajam. “ Kau seperti wanita penjilat.”
Apa?
Dia bilang aku penjilat. Astaga… Ini
pertama kalinya aku mendengarnya berkata seperti itu. Apa salahnya? Lagi pula
aku bukan penjilat. Mataku terasa hangat, aku pikir aku akan menangis.
“Aku
bukan penjilat, Kau ini kenapa sih? Kau bukan siapa-siapaku, kau hanya teman
masa ke…cilku. Atau jangan-jangan… Kau cemburu?” Wajahku menantangnya.
“Cemburu,?
Buat apa cemburu? Aku hanya mencoba melindungimu, lagipula banyak wanita yang
lebih cantik dari kau, Jelek.”
Jelek?
Air mataku mulai mengalir dengan deras, aku menangis dihadapan Ren. Dia sudah
menghinaku dua kali. Pertama penjilat dan kedua jelek. Dia lelaki macam apa sih? Kalau cemburu, bilang saja cemburu.
“Kau
jahat… Kau jahat” Aku memukul dadanya beberapa kali, tetapi dia hanya diam
saja.
“Aku
tidak ingin bertemu denganmu lagi.” Lanjutku, dan kemudian berlari menjauh.
Setelah kupikir aku sudah berada jauh darinya, aku memutuskan untuk berhenti, kuhapus air mataku dan kupukul
kepalaku berkali-kali.
“Bodoh…
Bodoh… Harusnya aku tidak menangis di depannya.”
***
Sudah
berhari-hari ini aku mengurung diriku di kamar, entahlah, aku hanya tidak
bersemangat untuk keluar rumah. Semenjak kejadian itu, aku benar-benar membenci
lelaki itu. Aku hanya tidak habis pikir, kenapa dia bisa bicara sekasar itu
kepadaku, huh? Perasaanku sekarang sudah campur aduk suka atau benci, aku
bingung.
“Yui,
turunlah Ren mencarimu.”
Kenapa
dia datang lagi, sih.? Suasana hatiku lagi tidak bersemangat untuk melihat orang
seperti dia. Aku malas bertemu dengan lelaki itu, tetapi kuputuskan untuk
bertemu, mungkin ada kata-kata terakhir darinya sebelum aku benar-benar
memutuskan untuk tidak pernah bertemu dengannya lagi.
“Ada
apa Ren?”
“Aku
ingin bicara sesuatu denganmu.” Lelaki itu menarik tanganku keluar dari rumah
dan menuju ke sebuah taman yang masih sepi, mungkin kami dating terlalu pagi.
“Apa
yang mau kau bicarakan, Ren. Cepatlah aku tidak punya waktu untukmu?”
“Aku
akan pindah ke Amerika.” Lelaki itu menunduk. Kenapa dia mau pindah? Dia
bercanda, kan? Memang aku tidak ingin bertemu dengannya lagi, namun perasaanku
tidak berkata seperti itu. Kuharap dia bercanda.
“Lalu
urusannya denganku?” Kataku berbohong.
“Aku
hanya ingin minta maaf, dan aku ingin kau tau sesuatu, sebenarnya kau tidak
jelek, kau bukan penjilat. Aku hanya kesal denganmu. Kau membuatku cemburu,” dia
menarik nafas dan menghembuskannya, kemudian melanjutkan perkataannya. “Aku
mencintaimu.”
Huh?
Di.. dia menyatakan perasaannya. Apa yang harus kulakukan? Atau tepatnya apa
yang harus kukatakan? Otakku tidak bisa berpikir dengan lancar sekarang.
“Maa..af
aku tidak bisa menerima perasaaanmu.” Oh bodoh apa yang kukatakan, kenapa aku
menolaknya. Sial. Aku memukul
kepalaku sendiri dengan kedua tanganku. Sial,
kenapa aku mengatakan hal itu?
“Ya
aku tau. Aku hanya ingin kau tau perasaanku. Aku mencintaimu, benar-benar
mencintaimu. Maaf aku harus pergi sekarang.” Dia tersenyum sedih, dan setelah
itu berbalik meninggalkanku.
Aku
hanya bisa menatap punggunnya. Dia benar-benar meninggalkanku. Oh bodoh, aku mengacaukan segalanya. Kenapa
aku harus mengatakan hal itu? Kumohon Kembali.
Aku
menggerakkan tanganku mencoba untuk menghentikannya “Re.. Ren” Tetapi dia sudah
terlalu jauh untuk kugapai. Dia benar-benar meninggalkanku. Aku tidak ingin ini
terjadi, kumohon kembali. Aku tidak bisa lagi menahan air mataku, satu persatu
butir-butir air mataku mengalir begitu saja.
“Kumohon
kembali Ren, aku ingin kau tau perasaanku sebenarnya. Aku mohon!” Aku terus memohon,
tetapi itu tidak ada gunanya lagi. Ren sudah pergi dan tak akan kembali lagi.
Aku menghancurkan harapannya, aku terlalu bodoh terlalu takut untuk memberitau
yang sesungguhnya. Aku bodoh. Wanita bodoh.
Tubuhku limbung ke tanah, aku tidak
bisa menahan berat badanku sendiri. Aku benar-benar tidak tau harus apa lagi.
Aku ingin dia kembali, aku harap aku bisa memutar waktu kembali. Aku tidak
ingin kehilangan dia.
To
be Continue
(y)
BalasHapus