Kamis, 05 Februari 2015

Sorry! Because Im Stupid (Part 2 : Epilogue)


@Shin Kiyo

“Every time with you is precious memories for me in my life. You are my everything, my life and my soul. Please don’t leave me alone.  I need you.”~SK

“Satu lagi hari yang melelahkan.” Aku menghembuskan nafas lega. Dari sisi kantor aku dapat melihat kerumunan orang-orang.  Ada apa yah? Ketusku. Entahlah kenapa aku ingin ke sana, tetapi seperti ada yang menarik kakiku untuk ke sana. Perlahan-lahan aku mulai berjalan ke sana, namun tanpa sengaja aku menabrak seseorang.
“Uppss… Maaf Tuan.” Aku menundukkan kepalaku beberapa kali sebagai tanda permintaan maaf.
Hanya suara sorakan ramai yang terdengar. Tampaknya dia marah sehingga dia hanya diam saja. Aku mendongakkan kepalaku, tidak ada siapapun di hadapanku. Lalu siapa yang aku tabrak? Aku yakin pasti aku menabrak sesuatu. Ataukah mungkin cuma perasaanku saja.  Kuharap begitu.

Tatapanku jatuh pada seseorang berpakaian casual diantara kerumunan itu. Dia tampak seperti orang yang kukenal. Tapi siapa yah?… R… Ren, mungkinkah itu dia? Tapi mana mungkin dia di sini, aku pikir dia sedang ada di USA? Lalu?
Kakiku melangkah dengan sendirinya. Aku menerobos masuk diantara kerumunan tersebut. Mataku bergerak mencarinya namun aku tidak bisa menemukannya. Dia menghilang. Aku terus mencarinya namun tetap saja tidak menemukannya. Sudahlah mungkin itu hanya halusinasiku saja.

***

Apa dia benar-benar Ren? Aku masih tidak habis pikir kalau itu memang dia. Kenapa dia tidak menyapaku. Tidak mungkin dia tidak melihatku? Kami bahkan bertatapan lama. Dia pasti tau aku ada.  
Air mataku menetes dengan sendirinya. Sial kenapa lagi? Aku yakin mataku pasti kemasukan debu, makanya air mataku keluar. Aku yakin itu. Aku diam sejenak namun aku tidak bisa lagi membendung perasaanku. Aku sungguh-sungguh merindukannya. Kenapa setiap kali aku menyebut namanya, rasanya aku ingin menangis?
Kenapa?
Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Itu hanyalah panggilan dari Ibu.
“Yui?”
“Iya, Mama.”
“ Kau ini. Kenapa kamu tidak pernah pulang ke rumah,hah?”
“Aku hanya lelah… Aku banyak kerjaan, Ma.”
“Pokoknya besok kamu harus pulang!”
“T…Tapi…”
Seperti biasa dia tidak mengijinkanku untuk bicara, wanita itu … Sebaiknya aku berkemas, sebelum dia mulai mengomel atau datang dan meembawaku pulang paksa.
Aku mulai mengemasi pakaianku dan kubawa juga tugas kantor. Hahaha… prioritas yang kuutamakan yaitu time is money.

***

Dua anak kecil telah menantiku, si kembar Ren dan Rin. Nama Rin dan Ren aku yang mengajukannya, entahlah kenapa aku mengajukan nama tersebut. Dengan langkah mereka yang belum seimbang mereka berlari kepadaku, aku menangkap mereka berdua sebelum jatuh.
“Bi..bbi…” suara lucu dari Ren membuatku tertawa kecil. Dan sedangkan Rin hanya diam tetapi dia tidak benar-benar diam, dia hanya mencoba mencari cara untuk menarik perhatianku.
Rin kemudian mengecoh seperti memarahi Ren, saudara kembarnya. Aku tidak tau apa yang mereka bicarakan tetapi sepertinya mereka berdebat. Lucunya. Aku jadi gemas sendiri mendengar rocehan mereka.
“Dia mengganggumu lagi, yah?” Jane, kakak iparku, mengambil Rin dari dekapanku.
“Tidak kok, Kak. Aku malah senang  dengan ocehan mereka.”
“Kalau gitu  cepet nikah deh sana.” Ledek Jane kepadaku, aku hanya tersenyum malu.      

***

Masih saja seperti tahun tahun sebelumnnya, keluarga ini selalu ramai.
“Ren sudah pulang.”
Aku berhenti melahap makananku. Dan menatap Saichi dengan tatapan seoalah tidak percaya.
“Kau serius?”
“Tidak. Aku bercanda.” Lelaki itu tertawa dan aku hanya mendengus kesal. Rasanya aku ingin melemparkannya garpu tepat di kepalanya.
“Ren benar-benar pulang, kok. Mama tadi melihatnya.” Aku menatap Ibuku dan dia melanjutkan perkataannya. “Dia juga memberikan Mama makanan kesukaan Mama. Astaga anak itu, semakin hari semakin tampan saja. Andaikan Ren anak mama.”
“Tenanglah, Ma. Ren juga nanti pasti menjadi anak mama, kok.” Saichi menatapku seperti tatapan meledek.
“Ih Kakak, Apaan sih? Tatapannya kok begitu banget sih? Biasa aja kali!” Aku menatapnya dengan tatapan marah.
“Oh jadi Ren mau jadi menantu Mama, yah. Hahaha” Ibuku ikut meledekku.
Aku jadi tidak ingin makan lagi. Aku mengangkat piringku dan beranjak pegi.
“Jangan ngambek gitu dong!”
“Diamlah, kak Saichi.” Aku mengabaikannya.

***

Aku duduk termenung di beranda kamarku. Beranda kamarku tepat berhadapan dengan beranda kamar Ren. Kami hanya tinggal berdiri di sini jika ingin bertemu. Jika dia terlambat bangun, aku akan menyebrang dan mengetuk kaca pintunya dengan keras, agar dia bisa mendengarnya.
Hahaha… Aku ingin tertawa mengingat semua hal itu, ekspresi kagetnya, dan wajah lugunya ketika bangun tidur. Sial kenapa air mataku malah menetes seharusnya aku tertawa.
“Ren, Aku merindukanmu, hiikss.. hikss… Aku merindukanmu.” Aku terus berkata dan berharap ada jawaban dari sana.
“Kau tidak perlu menangis begitu. Kalau kau merindukannya, kenapa tidak bilang saja ke dia?”
“Itu sulit.”
“Jadi kau menyukainya?”
“Aku… Aku sangat meenyukainya.” Tangisanku bertambah keras. “Aku tidak bisa kehilangan dia.”
“Kalau begitu biarkan dia ada di dekatmu.”
Kemudian sebuah tangan menarikku dan memelukku, aku mencoba melepaskannya, tapi dia tidak membiarkanku untuk pergi.
“Menangislah, aku di sini.” Pelukannya terasa sangat hangat, aku selalu merindukan pelukan ini, semua waktu yang berlalu aku selalu merindukannya.
“Ren… Ren... Ren, kumohon jangan pergi lagi!“ Aku mempererat pelukanku kepada lelaki itu. Dia di sini. Dia sekarang memelukku.
“Kalau begitu aku ingin kau mengatakan sesuatu.”
Aku melepas pelukanku dan mundur beberapa langkah, Aku bingung. Apa yang dia inginkan untuk kukatakan? Wajahku penuh dengan tanda tanya. Dia menatapku. Dia mengerti maksudku.
“Katakan kau mencintaiku.” Dia tersenyum padaku.
Aku tidak bisa berkata tidak, kali ini biarkan dia tau apa yang sebenarnya. Aku mencintaimu…. Suaraku tidak dapat keluar, aku berusaha untuk mengeluarkannya tapi itu sulit.
“A…Aku… Aku…. A…Aku” Sial, kenapa tiba-tiba jadi gagap begini?
“Kenapa?”
“A… ku… Aku men…ci…ntaimu.” Aku menundukkan kepalaku. Aku tidak bisa menatap wajahnya. Tidak mampu melihat lurus ke matanya.
“Apa? Aku tidak mendengarnya.” Dia terdengar seperti akan tertawa.
“Aku men..cintaimu.” kataku pelan.
“Apa? Sekali lagi!” Dia mempermainkanku
“Aku mencintaimu…” Kataku jengkel
“Sekali lagi!”
Aku mulai geram, dan kudonggakkan kepalaku untuk melihat wajahnya, tetapi tiba-tiba dia malah menarikku dan mengecup bibirku dengan lembut. Awalnya aku kaget, namun lama kelamaan aku membalas kecupan itu dengan lembut juga. Dia menghentikan ciumannya, aku bingung, aku hanya diam, tidak tau harus berkata apa lagi. Ini memalukan.
“Kau tau kau berharga dari segalanya. Aku mencintaimu.” Dia menunduk dan mencium sisi mataku, bekas aliran air mataku. Dan kemudian dia memelukku dengan erat.
Aku membalas pelukannya itu. Aku juga, aku juga sangat mencintaimu.
Aku bahagia. Aku sangat bahagia, aku tidak bisa menunjukkan atau menjelaskan bagaimana perasaanku saat ini, tentunya rasa bahagiaku itu sangat besar, besar sekali.

End

(Note : Abaikan. Maaf lebay, yah. Hahahaha… Gue benar-benar gak tau mau harus bikin ceritanya dari mana. Maaf gan gue kehabisan ide.)

1 komentar: